Sabtu, 24 September 2011

Petani Belum Diakomodir


 
Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang kini sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat masih mengecilkan peran petani dalam penyediaan pangan. Petani masih diposisikan sebagai kelompok rentan dan "bodoh" dalam RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani tersebut.  Petani masih diposisikan sebagai kelompok rentan dan "bodoh" dalam RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani tersebut.  Hal ini bertolak belakang dengan fakta bahwa petani Indonesia merupakan tulang punggung penyedia pangan dengan segala kreativitas dan pengetahuannya.
Jadi padangan miring bahwa petani adalah kelompok "bodoh" perlu diubah untuk mencapai kedaulatan pangan di Indonesia.
Demikian pesan Aliansi untuk Desa Sejahtera menyambut Hari Tani 24 September 2011.
Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) merupakan aliansi dari 18 Ornop dan jaringan dengan fokus kerja mengupayakan penghidupan pedesaan yang lestari dengan pendekatan pada tiga komoditas : (1) beras/pangan, ketua pokja Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP); (2) sawit, ketua Pokja Sawit Watch dan (3) ikan, ketua Pokja Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).  ADS memiliki 4 pilar untuk memperkuat penghidupan di pedesaan (1) akses terhadap sumber daya alam, (2) akses pasar, (3) adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, dan (4) keadilan gender.             
"Kalau melihat dari sisi produktivitas lahan sawah, petani kita mampu menghasilkan produktivitas rata-rata 9 ton per hektar per tahun,  lebih tinggi dibanding China, Jepang, Korea," kata Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional ADS.
Belum lagi kemampuan untuk membenihkan jenis padi yang sesuai dengan kondisi iklim yang semakin ekstrim, seperti yang dilakukan para petani di Serdang Berdagai, Aceh, Tasikmalaya dan Indramayu. Sayangnya, semangat RUU yang diambil pemerintah RI malah tidak melihat potensi ini.
Petani masih ditempatkan sebagai kelompok yang "bodoh", sehingga harus mendapat uluran tangan dari luar.
"Ujung-ujungnya ketergantungan seperti sekarang ini. Mulai dari benih, pupuk, petisida semua dari luar, pada akhirnya menyerahkan seluruh proses penyediaan pangan kita ke tangan swasta," kata Tejo.
Hak dasar untuk melindungi petani dan membuat petani berdaulat seperti hak atas pangan, benih, sumberdaya genetik, modal dan juga terbebas dari kriminalisasi merupakan muatan penting yang harus ada didalam Rancangan Undang-Undang Pelindungan dan Pemberdayaan Petani.
Perlindungan penting  Pentingnya perlindungan terhadap kelompok produsen pangan, juga ditegaskan M. Riza Damanik, Ketua Pokja Ikan ADS. "Kami juga memerlukan UU Perlindungan Nelayan yang benar-benar berfungsi mendukung kelompok yang menyediakan 70 persen kebutuhan ikan kita," kata Damanik.
Tanpa ada perlindungan yang berpihak pada nelayan tradisional, kelompok ini akan tersingkir dari proses penyediaan pangan bagi bangsa.              
Untuk kelompok pekebun sawit mandiri yang mengelola sekitar 30 persen luas sawit di Indonesia, Achmad Surambo dari Pokja Sawit ADS mengatakan  perlindungan kepada mereka sangat minim.
"Syukurlah MK mengabulkan permohonan judicial review UU Perkebunan No.18/2004 psl 21 jo 48 yang menggugurkan pasal kriminalisasi UU Perkebunan terhadap petani mandiri dan masyarakat adat," kata Achmad Surambo. Tetapi pekebun kecil perlu mendapat dukungan agar dapat mengelola perkebunannya secara maksimal dan berkelanjutan.             
Sudah saatnya para produsen pangan skala kecil menjadi tulang punggung penyediaan pangan bangsa ini.  
Niat perlindungan bagi produsen pangan, khususnya petani yang tertuang dalam RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani tanpa pengetahuan yang cukup, pemahaman mendalam dan kepercayaan negara, niscaya hanya akan berakhir pada penyerahan urusan pangan ke tangan para investor pangan. Kedaulatan dan kesejahteraan petani, serta Kedaulatan pangan petani, nelayan dan produsen kecil lainnya tidak akan pernah terwujud.
 
Sumber :  Kompas Online, 23/9/2011

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More