Satu indikasi baik untuk percepatan pembaruan agraria adalah kemajuan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang sudah mulai memberikan perhatian pada penyelesaian kasus-kasus pertanahan, terutama yang melibatkan petani. Sementara draf RUU Pertanahan harus ditinjau ulang karena dikhawatirkan malah akan kontraproduktif bagi proses redistribusi sumber-sumber agraria yang produktif, terutama tanah, untuk petani. Diperlukan sinkronisasi dengan semangat Reforma Agraria yang telah dicanangkan oleh pemerintah.Kedua, tahun 2010 kita meminta Presiden melalui Kementerian Pertanian untuk melaksanakan program Go Organik pada tahun tersebut, tetapi kenyataannya tak terlihat implementasi signifikan untuk melaksanakan program ini. Semua masih parsial dan tak dapat terukur perkembangannya.
Dana bantuan dan kredit memang meningkat, tetapi akses petani untuk mendapatkannya masih terbatas. Kita juga mengkhawatirkan dana-dana ini akan jatuh ke pihak-pihak yang tak berhak menerimanya. Jika kita masih bertahan dengan model pertanian konvensional, petani akan terus bergantung pada input luar seperti benih, pupuk, dan racun. Sementara jika pembaruan agraria dikembangkan untuk sistem pertanian organik, kita juga akan bisa merangsang perekonomian dan perindustrian pedesaan. Produksi pangan akan lebih sehat dan pertanian organik dapat mengurangi pemanasan global dan lebih ramah lingkungan.Kekerasan terhadap petaniKemandekan program Go Organik pada 2010-2011 diperburuk lagi oleh ketidakpercayaan pemerintah kepada petani sebagai produsen utama pangan Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan. Indonesia sangat gencar melaksanakan food estate. Proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate mendapat resistansi luar biasa dari masyarakat adat dan kini mandek. Impor pangan juga semakin melukai petani dengan nilai nominal yang dibayarkan terus meningkat. Kita harus mengeluarkan sekitar 6,35 miliar dollar AS untuk impor pangan semester I 2011, meningkat 1 miliar dollar AS dibandingkan periode sama 2010. Komoditas yang diimpor: beras, kedelai, jagung, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging, mentega, minyak goreng, susu, telur unggas, kelapa, kelapa sawit, lada, kopi, cengkeh, kakao, cabai kering, tembakau, dan bawang merah. Petani juga dibiarkan berjuang sendiri.
Pemerintah tidak hanya lambat merespons tuntutan kaum tani, tetapi sering kali juga menggunakan kekerasan untuk menekan petani. Setahun terakhir, banyak petani penggarap dihadapkan pada tindakan penangkapan dan kriminalisasi oleh aparat—terutama dengan mengatasnamakan UU Perkebunan Nomor 18 Tahun 2004—karena berusaha mempertahankan lahan.Banyak capaian yang dicatat oleh petani di seluruh pelosok Tanah Air. Mereka tidak hanya berhasil memperjuangkan nasib secara mandiri lewat pengajuan judicial review terhadap UU Perkebunan, yang berujung pada dibatalkannya pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi perjuangan kaum tani.Kaum tani juga berhasil memajukan pengetahuan tradisional dan pertanian dengan model berkelanjutan (agroekologi), yang sudah diakui di level internasional akan mampu mengatasi krisis pangan dunia jika diterapkan. Oliver de Schutter, pelapor khusus PBB tentang hak atas pangan, telah menyatakan, pertanian berbasis lingkungan mampu menggandakan produksi pangan dunia dalam 10 tahun.Sudah saatnya pemerintah menunjukkan kerja nyata untuk petani dengan serius melaksanakan Reforma Agraria. Petani tak bisa dibiarkan sendirian mengurus pangan dan pertanian.
Oleh : Henry Saragih (Ketua Umum Serikat Petani Indonesia; Koordinator Umum La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional).
Sumber: Kompas Cetak (29/9/2011)